BALI - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Cahyo R. Muzhar, pimpin perundingan perjanjian bilateral antara Perancis dan Indonesia tentang bantuan timbal timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA). Perundingan ini merupakan putaran pertama pembahasan draf perjanjian MLA yang dilakukan dengan negara Perancis.
Indonesia sebelumnya juga telah membentuk perjanjian MLA dengan negara-negara di Eropa, yakni Swiss dan Rusia, serta dengan Polandia yang saat ini sudah mencapai tahap finalisasi draf perjanjian. Perjanjian dengan negara Prancis ini akan menjadi perjanjian keempat yang dilakukan antara Indonesia dengan negara Eropa, yang dikoordinasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) khususnya Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) sebagai central authority.
"Kami berharap dengan negosiasi draf perjanjian ini, kerja sama MLA yang telah terjalin dengan baik selama ini akan menjadi lebih baik lagi dan mempermudah kedua negara dalam melakukan MLA," ujar Cahyo saat memimpin perundingan (20/5/24).
Dirinya menambahkan bahwa dalam proses negosiasi draf perjanjian kerja sama ini, Indonesia juga melibatkan berbagai pihak yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam); Kejaksaan RI; Kepolisian Negara RI; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); PPATK; dan Kementerian Luar Negeri RI.
“Tantangan yang mungkin akan dihadapi selama proses perundingan perjanjian ini adalah adanya perbedaan sistem hukum antara dua negara, yang menyebabkan adanya beberapa kepentingan dari masing-masing negara sebelum dapat disepakati,” jelas Cahyo.
Sebagai negara anggota Uni Eropa, Prancis juga terikat pada European Union Directives diantaranya untuk menerapkan ketentuan mengenai perlindungan data pribadi dan teknik investigasi khusus pada perjanjian-perjanjian bilateralnya.
Namun dirinya menambahkan, melalui perjanjian MLA yang baru pertama kali dibahas antara Perancis-Indonesia ini, diharapkan kedua negara dapat lebih efektif dalam menangani kejahatan lintas negara terorganisasi, dan memberikan manfaat besar bagi keamanan dan penegakan hukum di kedua belah pihak.
Prancis juga telah memiliki ketentuan mengenai penundaan proses penuntutan/Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam kasus korupsi suap. Ketentuan ini salah satunya diterapkan oleh Prancis pada kasus suap Airbus terhadap sejumlah pejabat PT Garuda Indonesia, Tbk.
Sayangnya DPA antara Prancis dan Airbus dengan nilai kesepakatan 8.500.000 Euro ini belum mempertimbangkan hak Indonesia sebagai negara korban yang ikut dirugikan atas kasus suap dimaksud, mengingat PT Garuda Indonesia, Tbk merupakan salah satu BUMN Indonesia.
“Kami juga berharap perjanjian MLA ini dapat mengatur bagaimana kerja sama penegakan hukum yang berujung pada kesepakatan DPA dapat mempertimbangkan hak-hak negara korban, khususnya Indonesia,” tegas Cahyo.
Sebagai informasi, perjanjian MLA yang sedang dirundingkan kedua negara ini dimulai dari hubungan bilateral antara Prancis dan Indonesia yang telah terjalin dengan baik selama 74 tahun. Kerja sama ini juga menjadi perhatian dari Kementerian Luar Negeri Prancis yang menganggap dialog yang dimiliki oleh kedua negara ini menunjukkan adanya kepercayaan yang tercipta, baik dari Pemerintah Prancis dan Pemerintah Indonesia.